Sedangkan untuk dosa yang telah menggunung mata kita enggan untuk berurai air mata. Kita enggan untuk bersujud, berkeluh kesah, dan memohon ampun kepada-Nya
MANUSIA dikaruniai Allah Subhanahu Wata’ala dua mata yang indah. Ada yang bermata bulat dengan dua buah bola mata hitam seperti buah leci. Ada yang bermata jeli dengan alis yang tebal dan ujungnya menjulang ke atas. Yang jelas, semua mata itu pernah menangis: meneteskan air mata hingga membasahi kedua pipi. Entah mata yang konon katanya bermata jeli ataupun mata yang biasa saja. Mata-mata itu yang pasti pernah jebol oleh air mata. Kedua pipi itu pernah basah olehnya. Tidak ada pipi yang tak pernah tersentuh air mata.
Namun, air mata itu tidak menetes dengan sendirinya. Dia akan tumpah jika ada perasaan yang membuncah di dalam jiwa hingga tak kuasa menahannya. Bisa jadi karena terlalu sedih. Atau pun karena terlalu bahagia dan terharu. Tak kuasa. Hingga perlahan bulir bening itu menganak di sudut kelopak mata hingga jebol dan membasahi kedua pipi. Itulah drama air mata. Ada seorang ibu yang menangis tersedu sedan. Bahkan meronta dan berteriak histeris. Dia tak kuasa menahasan sedih karena ditinggal anaknya tersayang.
Ada seorang lelaki gagah berbaju rapi, berambut klimis, dan berdasi. Dia menangis histeris sambil memukul-mukul meja kerjanya. Usaha yang dia rintis bertahun-tahun harus gulung tikar karena rugi. Ada seorang remaja yang menangis dan meronta-ronta. Belajar selama tiga tahun di bangku SMA seolah tidak ada gunanya ketika dia mendapat pengumuman bahwa tidak lulus Ujian Nasional. Ada seorang perempuan miskin, berbaju compang-camping dan tinggal di gubuk reyot di pinggir tumpukan sampah. Kedua matanya sembab karena perutnya sakit beberapa hari tidak diisi makanan sedikit pun.
Ada seorang ibu berbalut selimut dan baju ala kadarnya di sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Air matanya tumpah sesaat setelah dia melahirkan. Tak kuasa dia melihat sosok jabang bayi mungil lucu yang baru dilahirkannya. Buncahan bahagia menyelusup ke dalam jiwa. Ada seorang pemuda gagah, berbaju rapi dimasukkan dengan toga di kepalanya. Dia menangis karena perjuangannya mengejar cita-citanya akhirnya tercapai. Padahal, aral melintang yang dihadapi begitu terjal.
Mereka semuanya menangis: menumpahkan air mata dan membasahi pipi-pipi mereka. Di dunia ini, hampir tidak ada orang yang tidak pernah menangis. Semuanya pernah menangis. Namun, tidak banyak orang yang menangis karena Allah; takut akan azab-Nya yang dahsyat dan khawatir jika amal salehnya tidak diterima oleh-Nya. Padahal, tidak ada yang membuat diri kita khawatir dan takut kecuali kepada panasnya api neraka. Seandainya kita tahu betapa dahsyatnya kobaran dan jilatan api neraka, sungguh kita tidak mampu tertawa dan akan hidup dengan gundah gulana. Tidak tenang. Takut. Was-was.
Sungguh dunia ini tidak pantas untuk ditangisi. Sungguh dunia ini tidak layak untuk ditakuti. Dunia ini hanya sebentar. Penuh permainan dan sendau gurau semata. Kehidupan di dunia ini hanya sementara. Fana. Semuanya akan kembali kepada-Nya. Siapapun dia. Pejabat. Orang kaya. Orang miskin. Ulama. Bahkan penjahat sekalipun. Semuanya akan kembali. Oleh karena itu, tidak layak kita menjadikan dunia lebih berat dari akhirat. Akhirat harus lebih utama dan dijadikan tujuan.
Namun, sebagai manusia yang hidup di dunia pasti punya banyak khilaf dan alpa. Setan menggoda dengan segala cara. Seharusnya kita mengkhawitir diri kita. Jangan-jangan amal saleh kita tidak diterima. Jangan-jangan dosa kita menggunung dan tak terampuni. Sungguh kita bukanlah orang maksum yang terlepas dari segala dosa dan nista. Kita bukanlah para nabi yang telah dijamin surga dan terbebas dari segala dosa. Masih sanggupkah kita tertawa? Tidakkah kita menangis dan berharap ampunan dan rahmat dari-Nya? Ah, manusia. Sungguh bodohnya dirimu. Makhluk yang tak tahu diri.
Kita berbeda dengan Nabi Muhammad. Manusia pilihan Allah itu maksum dan dijamin masuk surga. Kendati begitu, Nabi Muhammad saja masih meneteskan air mata. Kedua pipinya basah. Matanya sembab. Hatinya dipenuhi selaksa takut kepada Tuhannya: takut jika tidak bisa menjadi hamba yang bertakwa dan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Air matanya tumpah di ujung-ujung tempat sujud di seperti tiga malam. Air mata itu luruh dan membasahi wajahnya. Pahadal, tiada celah keburukan pada dirinya. Semua yang dilakukannya adalah amal saleh yang menakjubkan dan jadi suri tauladan manusia.
Sampai-sampai seorang sahabat bertanya kepada Aisyah, “Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang luar biasa pada diri Rasulullah yang pernah engkau lihat,” Aisyah pun menjawab, “Manakah perbuatan beliau yang tidak luar biasa?” Pernah pada suatu malam beliau berbaring bersamaku, lalu beliau berkata, “Sekarang biarkanlah aku beribadah kepada Allah.” Beliau bangun dari tempat tidurnya, lalu mengerjakan salat. Baru saja selesai salat, beliau langsung menangis bercucuran air mata sehingga membasahi dada beliau.
Kemudian beliau ruku sambil menangis, dan bangun dari sujud pun masih menangis hingga Bilal datang mengumandangkan azan shubuh. Aku berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis seperti itu, bukankah engkau orang yang ma’sum dan Allah telah berjanji akan mengampuni dosa-dosamu, baik yang akan datang dan yang telah lalu (jika ada)?” Nabi Muhammad Saw lalu menjawab, “Tidakkah sepatutnya aku menjadi hamba-Nya yang bersyukur?”
Lalu kemudian nabi bersabda, “Mengapa aku tidak berbuat demikian? Padahal Allah telah berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk ataupun pada waktu berbaring dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi lalu berkata, “Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka.” QS. Ali Imran [3]: 190-191.
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
إِنَّا أَخْلَصْنَاهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ
وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Yakub yang memiliki kekuatan yang besar dan ilmu yang tinggi. Sungguh Kami telah menyucikan mereka dengan menganugerahkan akhlak yang tinggi keadaanya, yaitu selalu mengingatkan manusia kepada negeri akhirat. Dan sungguh, di sisi Kami mereka termasuk orang pilihan yang paling baik.” (QS. Shad [38]: 45-47).
Tidak hanya Nabi Muhammad yang mudah menangis karena-Nya. Hati orang beriman yang lembut, bersih, dan penuh rasa takut kepada-Nya akan senantiasa mudah menangis. Hatinya mudah sekali tersentuh. Seperti yang terjadi kepada orang-orang saleh berikut ini yang ditulis Supriyanto Abdullah dalam buku Meraih Kemuliaan dengan Takwa.
Salman Al-Farisi adalah orang beriman yang menghabiskan usianya untuk Islam. Di saat wafat, air matanya luruh membasahi wajahnya. Air mata itu membuat sahabatnya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Dia lalu menjawab, “Aku menangis bukan karena mencintai kehidupan dunia. Tetapi karena Rasulullah Saw berpesan kepada kami agar kami cukup berbekal dalam kehidupan dunia ini seperti bekal orang yang bepergian.” Betul saja. Dia tidak banyak memiliki harta. Setelah meninggal dunia, harta yang ditinggalkannya pun dihitung. Ternyata, hanya berjumlah beberapa dirham.
Tsabit Al-Banani mengisahkan tentang seorang wanita dari generasi awal yang bernama Burdah. Ia adalah perempuan yang memiliki hati yang bening, dan lembut. Rasa khawatir dan takut kepada-Nya memenuhi relung kalbu. Dia takut akan azab neraka yang begitu dahsyat. Burdah pun lebih banyak menangis hingga penglihatannya terganggu.
Lalu dikatakan kepadatanya, “Tidakkah engkau takut penglihatanmu akan hilang?” Ia menjawab, “Biarkan aku menangis, sebab jika aku termasuk ahli neraka, maka Allah akan menjauhkan diriku dan menjauhkan penglihatanku. Jika aku ahli surga, maka Allah akan memberi ganti untukku dua mata yang lebih baik daripada kedua mataku.”
Ahmad bin Abu Al Hawari berkata, “Bahwa Abdullah Al Anthaki berkata kepadanya, “Fudhail dan Imam At tsauri suatu ketika berkumpul dalam sebuah majelis. Keduanya saling mengingatkan, lalu Sufyan tersentuh hatinya dan menangis, kemudian ia berkata, “Aku berharap majelis ini mendatangkan rahmat dan berkah kepada kita.”
Kemudian Fudhail menyahut, “Wahai Abdullah—panggilan akrab Sufyan Ats-Tsauri—takut majelis ini justru lebih banyak membawa keburukan daripada rahmat dan berkah. Tidakkah engkau lega telah menyampaikan pembicaraan terbaikmu dan aku menyampaikan pembincaraan terbaikku, lalu engkau merasa bangga terhadapku dan aku merasa bangga terhadapmu?” Mendengar kata-kata sahabatnya ini, Ats-Tsauri menangis dan berkata, “Engkau telah menghidupkan kesadaranku, semoga Allah menghidupkan kesadaranmu.”
Suatu hari, ketika sedang merenungi diri, Taubah bin Ash Shumah telah berusia enam puluh tahun. Lalu ia menghitung hari-hari yang telah dilaluinya, ternyata menurut hitungan bulan komariyah ia telah berumur dua puluh satu ribu lima ratus hari. Menyadari kenyataan ini, ia lalu terkejut seraya menjerit lalu berkata, “Bagaimana aku harus menemui Allah yang Maha Raja dengan membawa dosa sebanyak dua puluh satu ribu lima ratus dosa?” Bagaimana jika setiap hari aku melakukan ribuan dosa? Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia pun keluar dan pingsan. Ketika didekati, ternyata ia telah meninggal dunia.
Ali bin Ma’bad, seorang muhaddis berkata, “Aku pernah tinggal di sebuah rumah sewaan. Ketika sedang menulis, aku perlu mengeringkan tinta secepatnya. Sedangkan dinding rumah terbuat dari tanah liat. Maka terlintas dalam pikiranku untuk mengeringkan tinta dengan mengambil sedikit tanah di tembok. Kemudian aku berpikir lagi, “Ini rumah sewaan (disewa untuk ditempati bukan untuk diambil tanahnya).” Sejurus kemudian, aku berpikir lagi, “Tetapi apa salahnya kuambil sedikit saja. Ini masalah sepele.”
Akhirnya, aku mengikis sedikit dinding itu. Pada malam harinya aku bermimpi. Dalam mimpiku, kulihat seseorang berdiri dan berkata kepadaku, “Esok pada hari kiamat. Kamu akan mengetahui ucapanmu yang menganggap tidak mengapa mengambil yang sedikit itu.” Ucapan, ‘Esok kamu akan mengetahui’ merupakan derajat ketakwaan yang sangat tinggi. Kesempurnaan takwa adalah selalu berhati-hati walaupun pada umumnya benda yang remeh itu masih dibolehkan.
Subhanallah. Sungguh rasa takut dan khawatir orang-orang saleh tersebut mengalirkan ketakwaan dalam diri mereka. Hati mereka pun jadi lembut, bening, dan mudah tersentuh. Dunia bagi mereka tidak ada artinya. Yang ada dalam benak mereka hanya satu: akhirat dan bagaimana selamat dari siksa neraka. Lalu bagaimana dengan kita? Mari kita bandingkan.
Sungguh kita masih sangat jauh dibanding mereka. Amal saleh kita masih sedikit. Iya, kalau diterima. Kalau tidak? Ibadah kita tidak sehabat mereka. Jangankan seperti Rasulullah. Seperti para sahabat nabi saja masih sangat jauh. Ilmu agama kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Begitu pula kualitas ibadah kita yang lain: sedekah kita, bacaan Al-Qur’an (tilawah) kita, salat tahajud kita, dan kualitas menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan oleh-Nya. Sungguh kita masih sangat jauh sekali.
Mata kita jarang sekali menangis karena-Nya. Jangankan jarang. Bahkan, boleh jadi, seumur hidup tidak pernah bermunajat di sepertiga malam dan menangisi dosa dan kesalahan yang telah diperbuat setiap hari. Kita justru lebih banyak tertawa dan bersendau gurau; seolah-olah akan hidup selamanya dan tidak sadar jika dosa terus menumpuk dan menggunung. Kita justru jarang memohon ampun kepada-Nya. Padahal, kita tidak tahu kapankah malaikat maut menjemput ajal kita. Astaghfirullahal ‘azim.
Mata kita justru sering menangis untuk sesuatu yang tidak begitu penting. Hati kita lebih mudah tersentuh hanya gara-gara soal sepele. Kita lebih sensitif dan reflektif terhadap hal-hal keduniawian. Entah itu karena soal pekerjaan, cinta, kesuksesan, kebahagiaan, dan penderitaan. Hati mudah tersentuh untuk sifatnya hura-hura. Menangis histeris ketika melihat idolanya datang dan berkalang kesuksesan.
Sedangkan untuk dosa yang telah menggunung mata kita enggan untuk berurai air mata. Kita enggan untuk bersujud, berkeluh kesah, dan memohon ampun kepada-Nya. Jangan-jangan hati kita telah tertutup cahaya ilahiyah. Jangan-jangan hati kita mati karena tertutup oleh banyaknya dosa yang tidak terampuni dan teristighfari. Nauzubillah min dzalik. Semoga AllahSubhanahu Wata’ala menjaga kita dari hal demikian ini dan senantiasa memancarkan cahaya di dalam hati kita. Sehingga mata kita pun akan berurai air mata karena-Nya. Bukan karena yang lain.*/Syaiful Anshor, seorang guru
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
0 Response to "Mata yang Menangis Karena Allah"
Post a Comment